Portalikn.id, Jakarta – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam peristiwa dugaan penggusuran paksa yang dilakukan oleh Prajurit TNI AD Kesatuan Komando Distrik Militer (Kodim) 0903/Bulungan, di Desa Gunung Seriang, Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.
Dugaan pelanggaran tersebut berkaitan dengan hak atas tempat tinggal yang layak, hak atas rasa aman, dan hak atas berkeyakinan serta beragama.
“Kami mendesak Komnas HAM dapat menangani kasus ini dengan serius, secara transparan dan akuntabel,” tulis Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dalam rilis resminya, Selasa (31/1/2023).
Fatia memaparkan berdasarkan kronologi yang pihaknya dapatkan bahwa dugaan tindakan penggusuran paksa yang dilakukan oleh Satuan Kodim 0903/Bulungan secara terang diduga telah melanggar berbagai instrumen hak asasi manusia, salah satunya Pasal 40 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.
Praktik penggusuran paksa kata dia, merupakan tindakan yang sangat ditentang dalam hukum HAM internasional. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, sebab negara harus menjamin bahwa setiap orang dapat bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.
“Mengacu pada kronologi dan informasi yang kami terima, mekanisme penggusuran terhadap warga Gunung Seriang secara nyata telah mengenyampingkan tahap-tahap prosedur penggusuran berdasarkan United Nations Basic Principles and Guidelines on Development-Based Evictions dan Pendapat Umum PBB Nomor 7 Tahun 1997,” tuturnya.
Semestinya dari pemerintah wajib mencari alternatif lain selain pelaksanaan penggusuran yaitu melakukan musyawarah yang tulus kepada warga terdampak, memastikan bahwa tidak ada orang yang akan kehilangan tempat tinggal dan menjamin adanya alternatif tempat huni yang memadai.
Selain itu, pada tahap saat penggusuran, setiap penggunaan aparat penegak hukum harus sesuai dengan prinsip proporsionalitas HAM dan pemerintah harus memastikan tidak ada kekerasan yang terjadi terhadap warga terdampak.
Lebih lanjut pada tahap setelah penggusuran, harus ada alternatif solusi pindah ke tempat tinggal yang lebih baik, memberikan pemulihan sesuai dengan ketentuan hukum bagi warga terdampak.
“Ada bantuan hukum dan warga terdampak diberikan penanganan kesehatan terbaik,” sebutnya.
Berdasarkan Pasal 28G UUD NRI 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM pada intinya menyatakan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan. Namun demikian, ketentuan ini justru dilanggar, sebab penggusuran pada peristiwa a quo mengedepankan pendekatan keamanan yang mengakibatkan para warga merasa terancam, tidak aman dan menimbulkan rasa takut.
Tindakan sewenang-wenang yang diduga dilakukan oleh prajurit TNI berupa dugaan penggusuran paksa, juga berdampak atas peribadatan yang selama ini dilakukan oleh sejumlah jemaat Gereja. Sebab dugaan penggusuran paksa yang terjadi, tidak hanya menghancurkan bangunan rumah warga tetapi juga bangunan Gereja GPIB Pos Pelayanan Lembah Gunung Silo.
“Bahwa dalam peristiwa a quo semakin menegaskan terjadinya dugaan berbagai
pelanggaran HAM. Secara normatif, praktik tersebut secara terang diduga telah melanggar hak atas berkeyakinan dan beragama,” tuturnya.
Untuk diketahui, mulanya para pencari keadilan mengadu ke pihaknya pada 11 Oktober 2022. Berkaitan dengan kasus a quo, KontraS juga mendapat informasi bahwa sebelumnya para pencari keadilan telah mengajukan pengaduan berkaitan kasus tersebut kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tertanggal 25 Juli 2022 dengan nomor agenda 143070.
Pihaknya berharap pengaduan yang sebelumnya telah diajukan oleh pencari keadilan dapat ditindaklanjuti sesegera mungkin, mengingat saat ini sebagian warga masih dalam pengungsian dan mengalami rasa trauma yang mendalam.
“Kami menilai perlu adanya langkah tegas bagi Komnas HAM untuk segera melakukan rangkaian pemantauan dan pemeriksaan terkait peristiwa tersebut, sebagaimana tugas dan fungsi Komnas HAM berdasarkan Pasal 89 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM,” jelasnya.
Adapun kronologi yang didapatkan KontraS terkait peristiwa tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bahwa jauh sebelum praktik dugaan penggusuran terjadi, sejumlah warga telah menempati lahan di Desa Gunung Seriang RT 04, Kecamatan Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kaltara sejak tahun 1958. Adapun asal muasal penguasaan lahan tersebut adalah harta waris dari Almarhum WS Singal yang dimiliki secara Guntai menurut hukum adat Dayak;
2. Bahwa pasca pendudukan lahan oleh masyarakat adat Dayak di Desa Gunung Seriang, diketahui ada upaya dugaan penerobosan dan penggusuran lahan warga oleh TNI AD yang berlangsung sejak tahun 1978 untuk membangun asrama TNI AD. Selanjutnya, pada tahun 1990 hingga tahun 1993, pihak TNI AD setempat meninggalkan area tersebut dan membongkar seluruh infrastruktur yang telah terbangun;
3. Bahwa medio Januari hingga Juni 2022, sejumlah warga RT 04 Desa Gunung Seriang mendapatkan Surat Peringatan dari Kodim 0903/Bulungan terkait pengosongan lahan di area lahan milik almarhum WS Singal sebanyak tiga kali. Disamping itu, hampir setiap harinya sejumlah prajurit TNI setempat terus mendesak warga untuk segera meninggalkan lahan tersebut;
4. Bahwa selanjutnya, baik gereja maupun rumah warga yang bermukim pada areal lahan sengketa ditempel kertas peringatan yang pada intinya menerangkan bahwa lahan yang mereka tempati adalah rumah dinas milik prajurit TNI. Bahkan, Dandim 0903/TSR sempat mengklaim bahwa tanah tersebut adalah aset TNI dan tergolong dalam Inventaris Kekayaan Negara (IKN);
5. Bahwa 4 Agustus 2022, bertepatan pukul 08.03 WITA, tanpa ldilandasi dengan putusan pengadilan atau dasar hukum yang jelas, sejumlah prajurit TNI AD Kodim 0903/Bulungan datang dengan membawa alat berat berupa eksavator dan menghancurkan bangunan warga, antara lain berupa 11 rumah warga, dua kios sembako, delapan rumah yang sedang dalam proses pembangunan, Gereja GPIB Pos Pelayanan Lembah Gunung Silo-Gunung Seriang, Pastori, dan bangunan pendukung lainnya;
6. Selanjutnya, pada 8 Agustus 2022, tanpa pemberitahuan dan komunikasi yang jelas kepada para korban yang terdampak dugaan penggusuran paksa, pihak Danrem 092/Mrl membangun pagar seng pembatas lahan sepanjang 300 meter. Bahkan, bagi warga korban penggusuran yang ingin mengambil puing/barang-barang tersisa wajib untuk melapor kepada pihak TNI;
7. Pasca peristiwa penggusuran warga dari pemukimannya, beberapa warga memilih untuk mengungsi di rumah keluarga atau kerabatnya. Sebagian korban terpaksa mengungsi di sebuah pondok kebun warga dan mengalami rasa trauma
yang mendalam. Lebih lanjut, bagi jemaat Gereja GPIB Pospel Gunung Silo, peristiwa tersebut turut berakibat pada sulitnya akses ibadah bagi korban terdampak. Setidaknya, mereka harus menempuh jarak kurang lebih 800 meter
untuk menuju tempat peribadatan terdekat. (Redaksi)